Dikisahkan Nabi Musa a.s naik ke atas Gunung Sinai, memenuhi panggilan Allah SWT., ia pun menitipkan Bani Israil ke Nabi Harun a.s., saudaranya, untuk naik ke gunung Sinai (Thuursina), gunung Allah yang keramat itu. Tempat terkenal di daerah ini adalah Jabal Musa.
Jabal Musa adalah nama sebuah puncak gunung tertinggi, dari sederetan gugusan pegunungan yang ada di semenanjung Sinai, Mesir. Dinamakan Jabal Musa (Gunung Musa), karena di puncak gunung itulah nabi Musa a.s. menerima wahyu dan berjumpa dengan Tuhannya, sebagaimana yang dikisahkan oleh Al Qur’an. Dalam agama Nasrani peristiwa ini terkenal dengan isitilah ” Ten Commandments atau Decalogue “.
Setelah ia menyempurnakan 40 malam yang diisi dengan puasa dan beribadat sendirian di atas gunung itu, Allah SWT. pun berfirman dan menurunkan Taurat kepadanya. Kemudian Nabi Musa as. pun sangat rindu untuk dapat melihat Wajah Sang Kekasih yang telah berkata-kata kepadanya, Wajah Rabb-nya.
Selanjutnya, dibentangkanlah sebuah pemandangan unik yang dikhususkan Allah untuk Nabi-Nya yang bernama Musa a.s. Pemandangan yang berupa pembicaraan langsung antara Allah Yang Maha agung dengan salah seorang hamba-Nya.
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhannya telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa, ‘Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau…” (QS. Al-A’raf: 143)
Itu adalah peristiwa yang menakutkan dan membingungkan. Tetapi, Musa mampu menerima kalimat-kalimat Tuhannya, dan ruhnya melihat, mendekat, bergelora kepada apa yang dirindukannya.
Maka, Musa lupa siapa dirinya, dia lupa apa dirinya itu, dan ia meminta sesuatu yang tidak layak dilakukan manusia di muka bumi ini, dan meminta sesuatu yang tidak dapat dipenuhi manusia di dunia ini. Ia meminta dapat melakukan penglihatan yang teragung, permintaan yang didorong oleh desakan rindunya, dorongan harapannya, gejolak cintanya, dan keinginannya untuk menyaksikan, hingga ia diingatkan oleh kalimat yang pasti.
“Tuhan berfirman, ‘Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku….”
Kemudian, Tuhan Yang Maha Agung lagi Maha Mulia berbelas kasihan kepadanya, dan memberitahukan kepadanya mengapa dia tidak akan dapat melihat-Nya, yaitu bahwasanya ia tidak akan mampu.
“Akan tetapi, lihatlah ke bukit itu. Maka, jika tetap di tempatnya (seperti sediakala), niscaya kamu dapat melihat-Ku.”
Gunung itu begitu kokoh dan mantap, dan gunung dengan kekokohan dan kemantapannya lebih kecil keterpengaruhannya dan responnya daripada manusia. Akan tetapi, apakah gerangan yang terjadi?
“Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh…”
Seluruh puncaknya tenggelam hingga terlihat rata dengan tanah, hancur berantakan. Musa sangat takut, dan berlakulah sesuatu pada keberadaan dirinya sebgai manusia yang lemah.
“Dan, Musa pun jatuh pingsan.”
Ia pingsan, tidak sadarkan diri.
“Maka setelah Musa sadar kembali….”
Kembali kepada dirinya, dan mengetahui ukuran kemampuannya, dan menyadari bahwa dia telah melakukan permintaan yang melebihi batas.
“Dia berkata, ‘Maha Suci Engkau….”
Maha Suci dan Maha Tinggi Engkau, tak mungkin mata manusia dapat melihat dan memandang-Mu.
“Aku bertaubat kepada Engkau,” dari melakukan permintaan yang melampaui batas.